19 April 2009

KALSEL "HIJAU" BISAKAH TERWUJUD

MENUJU “THE BLUE ISLAND”

Terjadinya perubahan iklim berupa pemanasan global yang sering disebut "Global Warming", pada akhirnya merubah lingkungan dan wajah dunia secara "dramatis dan dilematis" terhadap penghuni dunia. Dramatis, karena akibat perubahan iklim tersebut menyebabkan peristiwa bencana di pelbagai belahan dunia (baik bencana sosial maupun bencana alam ), yang menyebabkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Dan dilematis, karena selalu saja penyebabnya adalah persoalan yang sama yaitu prilaku manusia yang tidak “koorporatif” dengan alam. Pun, persoalan ini terjadi pula di Negara kita termasuk di daerah kita Kalimantan Selatan.


Terjadinya banyak bencana di dunia termasuk di daerah kita, tidak saja menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap penyebabnya. Lebih dari itu, saling tudingpun terjadi, terutama antara Negara maju dan Negara berkembang. Negara Maju menganggap bahwa negara berkembang melakukan eksploitasi dan eksplorasi besar-besaran terhadap sumber alam mereka tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkannya terhadap lingkungan. Sementara itu, tudingan balik justeru

disampaikan Negara berkembang bahwa Negara Maju – lah yang menyebabkan semua ini terjadi karena industrinya yang tidak berwawasan lingkungan.

Terlepas dari persoalan pro dan kontra, bencana yang terjadi akibat “Global Warming”ternyata membuat semua masyarakat dari berbagai elemen dan petinggi negara-negara di dunia melakukan langkah-langkah strategis dalam upaya mengantisipasi dan mengatasi masalah tersebut. Tidak hanya itu saja, pertemuan-pertemuan antar Negara juga dilakukan, baik pada tingkal bilateral, regional, maupun pada tingkat global. Bahkan akhirnya Organisasi Dunia PBB urusan Lingkungan Hidup ( UNEP ) turun tangan untuk ikut menyelesaikan masalah ini dengan melakukan berbagai sosialisasi dan kegiatan pertemuan secara global khusus membahas persoalan dampak perubahan iklim, termasuk kegiatan yang diadakan beberapa waktu yang lalu di Bali dan Bangkok.

Pada intinya, pertemuan-pertemuan yang di sponsori pihak PBB – UNEP tersebut hanya membahas 2 ( dua ) pokok bahasan yaitu :
1. Mencari akar penyebab terjadinya perubahan iklim, dan
2. Tindak lanjut mengantisipasi akibat yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Dalam beberapa pertemuan, sebelumnya masalah lingkungan dunia telah dibahas dalam sebuah perjanjian yang di beri nama perjanjian “Protokol Kyoto”, namun draf yang diatur dalam perjanjian tersebut belum spesifik membahas persoalan perubahan iklim dan dipandang banyak merugikan Negara – Negara Berkembang. Sedangkan pada pertemuan-pertemuan kali ini, akhirnya Negara maju dan Negara berkembang menyepakati beberapa hal, diantaranya adalah Negara maju akan mengurangi produksi emisi gas rumah kaca hingga 40% sampai pada tahun 2020, sedangkan Negara berkembang harus merubah kebijakan-kebijakan dalam pembangunan yang ada hubungannya dengan masalah lingkungan seperti masalah peningkatan kawasan hutan lindung dan pengelolaan pertambangan termasuk juga didalamnya masalah efek rumah kaca.

Kalau kita lihat hasil dari kesepakatan tersebut sepintas memang dirasa adil, namun sebenarnya tidak. Negara maju hanya memilih opsi untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca, alasannya, karena mereka tidak mempunyai lagi banyak hutan. Sedangkan Negara berkembang termasuk Indonesia diberi opsi meningkatkan kawasan luas hutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan alasan Negara berkembang masih memiliki banyak hutan seperti Indonesia.

Dalam berbagai pertemuan, Indonesia sendiri disebut-sebut sebagai harapan dunia dalam mengatasi persoalan “Global Warming”. Indonesia bahkan menjadi pilot project karena dipandang sebagai Negara yang masih mempunyai kawasan hutan terbesar di dunia. Bahkan perkataan Negara-Negara maju tentang Indonesialah paru-parunya dunia, hampir menjadi kenyataan. Dan paru-paru dunia yang dimaksud oleh Negara-Negara Maju tersebut tidak lain adalah Pulau Kalimantan, yang juga sering disebut dengan nama “The Blue Island”.

Menurut mereka, Negara Maju sangat berkepentingan ikut menjaga hutan Kalimantan termasuk hutan yang masih ada di Kalimantan Selatan. Namun pertanyaannya sekarang adalah “Layak” kah Kalimantan menyandang predikat tersebut ?

Ada baiknya kita “faceback” atau melihat kembali kondisi hutan yang dimiliki oleh kita khususnya hutan yang ada di Kalimantan Selatan. Menurut catatan beberapa organisasi pencinta lingkungan, jumlah Hutan di Kalimantan Selatan Tinggal Sedikit. Sehingga dalam konteks kajian kehutanan untuk daerah Kalimantan, posisi hutan Kalimantan Selatan benar-benar tidak diperhitungkan, sebabnya, adalah karena hutan Kalimantan Selatan benar-benar dalam kondisi hampir habis. Itupun yang tersisa hanyalah kawasan Hutan Lindung Pegunungan Meratus yang sekarang kondisinya juga mulai terkoyak. Padahal, tahun 2003 deforestasi di Kalimantan menjadi salah satu catatan besar dunia saat itu.

Kini, berselang 5 tahun berlalu, luas kawasan hutan itu diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta ha. Namun, data Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 1990-an mencatat kawasan hutan di
Kalsel yang tak teralokasikan tinggal 667.951 ha dari total 3 juta ha wilayah Kalsel. Sisanya merupakan hutan terdegradasi dan hutan yang sudah gundul. Karena itu, logis jika FWI dan juga WWF menganggap hutan di Kalsel kini sudah tidak ada. "Sudah habis", tinggal di kawasan Hutan Lindung Pegunungan Meratus saja, itu pun kini sudah dijarah oleh penebang liar.

MESKI demikian, tidak ada yang menggubris soal kondisi kawasan hutan di Kalsel yang di beberapa tempat kini mulai menggurun alias GUNDUL. Sedangkan dibeberapa lokasi yang masih dianggap berhutan, penebangan liar ternyata terus berlangsung. Lalu, bisakah Kalimantan Selatan menuju apa yang dikatakan oleh Negara Maju sebagai sebuah kawasan yang disebut “THE BLUE ISLAND” atau menjadi kawasan PARU-PARU DUNIA ? Semoga



Tidak ada komentar:

Posting Komentar